Saya Tantang Para Caleg Dapil VI Bantul Sisihkan Sebagian Gajinya untuk Rakyat


TAK bisa dipungkiri, banyak masyarakat yang mengalami krisis kepercayaan terhadap calon anggota legislatif (caleg) sehingga sebagian di antaranya bersikap masa bodoh, serta sebagian lainnya sangat berhati-hati untuk memilih mereka.

Gejala demikian sangat bisa dipahami. Belajar dari pengalaman, masyarakat banyak yang merasa kecewa atas janji-janji kampanye caleg di masa pemilu sebelumnya. Tapi setelah terpilih menjadi anggota legislatf, mereka ternyata tidak menepati janjinya dalam upaya memperbaiki kehidupan konstituen yang telah memilihnya.



Berangkat dari kenyataan demikian, Taufiq Hardianto SH sebagai caleg Partai Bulan Bintang (PBB) Dapil VI Kecamatan Kasihan dan Sedayu Bantul, mengajak semua caleg di dapil tersebut untuk mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat Kasihan dan Sedayu.

Di hadapan para tokoh masyarakat itulah, para caleg membuat Mou atau semacam kontrak politik berupa kesanggupan menyisihkan sebagian gajinya setiap bulan selama menjabat sebesar Rp 10 juta, di luar dana aspirasi.

“Jika di Dapil VI ada 7 Caleg, berarti setiap bulan bisa terkumpul Rp 70 juta, dan setahun mencapai Rp 840.000.000. Berarti selama 5 tahun bisa terkumpul Rp 4,2 miliar,” papar Taufiq yang juga berprofesi advokat kepada yogyapos.com, Rabu (26/12/2018).

Taufiq yang pernah menjadi bagian penting dalam deklarasi berdirinya PBB di DIY, mengetuk hati nurani para caleg dan sekaligus mempertajam kecerdasan konstituen agar tidak selamanya menjadi objek politikus yang hendak meraih kursi legislafit.



Alumnus FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini menuturkan pengalamannya didatangani sejumlah orang yang ingin menjadi tim sukses dengan menawarkan sejumlah massa calon pemilih untuknya, asalkan disediakan dana. “Istilahnya bitingan dengan sejumlah uang. Saya ditawari membeli suara. Rp 100 ribu untuk satu suara (1 biting),” akunya.

Taufiq tidak menolak dan tidak pula mengiyakan tawaran tersebut. Namun kesempatan demikian jutru dimanfaatkannya untuk memberi pelajaran moral kepada ‘makelar suara’ itu.

“Saya ketika itu menyatakan kepada mereka, sampai kapan kalian akan turut menghantarkan para caleg itu menjadi perampok uang rakyat?” sela Taufiq.



Menurut Taufiq, caleg yang membeli suara rakyat, sangat bisa dipastikan kelak saat menjadi anggota legislatif bakal mengesampingkan aspek moral. Ujung dari keberadaan mereka menduduki kursi legislatif adalah untuk menumpuk pundi-pundi ekonomi dengan jalan menabrak aturan. Alih-alih memperjuangkan aspirasi demi kesejahteraan atau kemakmuran rakyat, tapi mereka malah tetap menjadikan rakyat atau konstituen sebagai objek untuk diperalat demi kepentingan pribadi maupun golongan.

Karena itu, papar Taufiq, saat sekarang caleg yang benar-benar hendak menjadi wakil rakyat perlu punya kesanggupan membuat kontrak politik dengan konstituen. Demikian pula masyarakat yang diwakili para pemukanya diajak punya bargaining yang elegan untuk kemaslahatan. “Ini artinya, masyarakat jangan sungkan-sungkan menawarkan kontrak politik kepada caleg,” tegasnya.

Dengan pengandaian kontrak politik yang riil berupa penyisihan sebagian gaji untuk tujuan kemakmuran rakyat itu, maka sejak awal para caleg tersebut bisa diharapkan sebagai wakil rakyat.

Bagi Taufiq, kontrak politik seperti itu akan bisa maslahat karena uang yang terkumpul setiap bulan dikelola melalui rembug warga membuat project pilot, berupa ragam bidang usaha produktif yang sanggup menyerap tenaga kerja dan keuntungannya dikembangkan demi pemberdayaan ekonomi rakyat.


Taufiq menegaskan dirinya maju sebagai caleg bukan untuk tujuan kepentingan pribadi. Tapi memang ada yang mesti diperjuangkannya melalui jalur atau mekanisme politik praktis. “Jangan dikira soal kenaikan harga cabe hanya terkait antara tengkulak dan petani. Tapi ini tentu tak lepas dari keputusan politik. Lewat legislatif itulah saya hendak melakukan perbaikan demi masyarakat,” tandas Taufiq yang menyadari bahwa kontral politik atau MoU bukanlah hal baru.

Namun, terang dia, tidak ada salahnya jika pada pemilu kali ini hal seperti itu digaungkan lagi sekerasnya agar masyarakat bisa ikut menjadi subyek dalam proses politik menghantarkan calonnya ke kursi legislatif. Jadi itulah cita-cita dia melalui legislatif, mengajak menuju ke baldatun thoyyibatun warobbun ghafuur, yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Bukan malah membodohi rakyat guna kepentingan pribadi.

"Mari kita buat paradigma bahwa seseorang anggota legislatif harus benar-benar sebagai penyalur aspirasi konstituen/pemilih. Bukan malah berusaha memperkaya diri dengan membuncitkan perutnya di atas penderitaan masyarakat. Anggota dewan hanya merupakan pembantu masyarakat di dapilnya untuk menyerukan aspirasi. Susah senang harus ada di barisan masyarakat yang diwakilinya," tutur Taufiq seraya menegaskan dirinya tidak butuh dukungan orang-orang munafik, serta tidak akan pernah mau menjadi wakil para munafikun. (Met)
Back To Top